Minggu, 29 Maret 2009

MENUMBUHSUBURKAN ETIKA LINGKUNGAN PADA SISWA

Oleh : Mahfud
Guru Biologi SMP YPPI – 2 Surabaya

1. RASIONAL
Di saat negara sedang genjar-genjarnya kampanye legislatif, tiba-tiba kita dikejutkan adanya berita jebolnya tanggul Situ Gintung di Kelurahan Cirendeu, Kecamatan Ciputat, Kota Tangerang Selatan, Banten. Saat itu, hari Sabtu dini hari, 27 Maret 2009 sekitar pukul 03.30 air bah yang mirip tsunami menyapu bersih pemukiman penduduk di pinggiran selatan ibu kota Jakarta. Menurut pantauan Badan Perencanaan Daerah (Bappeda) Tangerang Selatan, areal yang terendam air sekitar 10 hektar.Sedang menurut Posko Utama Penanggulangan Bencana Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) mencatat korban tewas 63 orang dan 80 orang hilang ( Jawa Pos, 28 Maret 2009).
Sementara itu, menurut harian Kompas, jebolnya tanggul buatan Belanda tahun 1932 ini menghancurkan 300 rumah, korban tewas mencapai 65 orang, 98 orang hilang dan 52 orang cedera, dan 25 orang dirawat di rumah sakit Fatmawati(Kompas, 28 Maret 2009 ). Berdasarkan realita di atas, maka muncullah pertanyaan, mengapa ini semua dapat terjadi ? Untuk menjawab pertanyaan ini tentu jawabnya beragam.Tergantung dari pola pikir kita masing-masing. Menurut Kepala Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung-Cisadane, Pitoyo Subandrio, jebolnya tanggul Situ Gintung karena hujan deras yang turun 5 jam tanpa henti (Jawa Pos, 30 Maret 2009). Sedang menurut seniman seperti Ebiet G. Ade jawabnya mungkin Tuhan mulai bosan melihat tingkah kita yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa atau alam mulai enggan bersabat dengan kita, coba kita bertanya kepada rumput yang bergoyang. Namun, ada satu hal yang dilupakan banyak pihak, bahwa sejak jaman Belanda ada larangan membangun rumah atau bangunan di sekitar waduk Situ Gintung pada radius 1 km2 . Selain itu, hutan di hulu sungai yang biasanya menyimpan air hujan sudah sudah dibabat habis manusia (Jawa Pos, 30 Maret 2009).Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, mengapa manusia membangun rumah dan membabat hutan di sekitar waduk Situ Gintung ?Salah satu jawabannya adalah bahwa mereka tidak atau kurang mempunyai etika lingkungan sehingga kurang peka terhadap lingkungan sekitarnya. Menurut A.Sonny Keraf (2007), yang dimaksud etika lingkungan adalah filsafat (pandangan) hidup secara damai dengan alam, baik tumbuhan, hewan, mikroorganisme maupun benda-benda mati yang ada di sekitarnya. Artikel ini akan membahas bagaimana menumbuhsuburkan etika lingkungan kepada siswa berdasarkan pengalaman penulis menjadi guru selama 18 tahun di Yayasan Pengembangan Pendidikan Indonesia (YPPI), khususnya SMP YPPI – 2 Surabaya.
2. Bentuk Kegiatan
Ada beberapa kegiatan yang dapat digunakan untuk menumbuhsuburkan sikap etika lingkungan, antara lain :
a. GHL ( Gunung, Hutan dan Laut )
Program GHL ini merupakan kegiatan wajib yang harus diikuti siswa dan guru mulai jenjang TK, SD, SMP, dan SMA yang dilaksanakan setiap tahun sekali, kegiatannya mirip dengan out bound, namun materi dan waktu disesuaikan dengan jenjang pendidikan masing-masing.Kegiatan ini dimulai sejak 1986 sampai sekarang masih berlangsung. Alasan diadakan kegiatan ini disamping menumbuhsuburkan etika lingkungan adalah selama ini siswa kami hidup di kota besar ( Surabaya ) yang segalanya serba konsumtif dan individualistis maka dengan adanya GHL ini mereka diperkenalkan langsung dengan lingkungan alam nyata bukan sekedar teori di kelas yang bersifat verbalistik. Hidup berkelompok dalam satu regu, saling tolong menolong antara satu dengan yang lain.Contoh kegiatan, misalnya paket kegiatan menghitung jumlah populasi makhluk hidup secara simple random sampling di hutan Mahoni (Swetenia mahagoni)
Trawas – Mojokerto (1995), Identifikasi Biota Laut di pantai Tuban (2006), Pendidikan Lingkungan Hidup dan Budaya Jawa di Kaliandra (2007). Disamping itu, juga diisi diskusi, yel-yel, game, jurit malam dan api unggun. Dengan adanya kegiatan di atas diharapkan siswa sejak TK, SD, SMP, dan SMA mulai mengenal alam nyata berupa gunung, hutan dan laut. Hal ini bertujuan agar siswa setelah keluar dari YPPI dan terjun ke masyarakat, mereka telah mempunyai bekal berupa sikap etika lingkungan.
b. Cinta Puspa
Cinta Puspa adalah nama kegiatan di YPPI dimana setiap siswa mulai tingkat SD, SMP, SMA dan Universitas (Universitas Widya Kartika) wajib mengadakan reproduksi tanaman bunga sepatu (Hibiscus rosa-sinensis) dan umumnya tanaman hias yang lain dengan stek. Setiap siswa atau mahasiswa wajib membuat stek minimal 10 stek kemudian dipelihara di sekolah (green hause) selama 6 bulan. Oleh sebab itu, peran wali kelas dan Guru Biologi sangat penting dalam mengontrol kondisi tanaman. Setelah 6 bulan, tanaman hias sudah siap akan ditanam, penulis ditunjuk YPPI untuk bekerjasama dengan Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) Pemerintah Kota Surabaya untuk menentukan tempat menanam tumbuhan hias. Setelah terjadi kesepakatan, maka tempat penanaman disepanjang jalan raya Kertajaya depan kantor Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) sampai depan BCA dan waktu penanaman hari Jum’at, 30 Maret 2007 serta berkenan membuka secara resmi wali kota Surabaya, Bambang Dwi Hartono. Dengan siswa membuat stek , merawat kemudian menanam sendiri, maka diharapkan akan tumbuh sikap etika lingkungan bila kelak terjun ke masyarakat.
c. Tugas Lintas Pelajaran
Selain itu, sikap etika lingkungan dapat pula ditumbuhsuburkan melalui tugas lintas pelajaran, misalnya topik tentang Pencemaran dapat tugas dari pelajaran Biologi, Fisika, Kimia, Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris. Disamping itu, tugas lintas pelajaran ini membuat siswa bebannya lebih ringan sebab membuat satu tugas sekaligus mendapat 3 atau 4 nilai dari mata pelajaran yang berbeda. Dengan demikian akan menambah motivasi siswa untuk lebih mendalami tentang etika lingkungan sebab bukan hanya pelajaran Biologi saja yang mengajarakan tetapi pelajaran yang lainpun juga demikian.
3. Penutup
Berdasarkan uraian di atas, maka bila siswa sejak dini ditumbuhsuburkan sikap etika lingkungan melalui berbagai kegiatan, baik melalui GHL, Cinta Puspa maupun Tugas Lintas Pelajaran, maka diharapkan setelah terjun ke masyarakat nanti tidak ada lagi kasus mendirikan bangunan atau perumahan di sekitar waduk tempat penampungan air dan pembabatan hutan yang berakibat resapan air hujan berkurang, sehingga tidak akan ada lagi tsunami jilit 2 seperti waduk Situ Gintung . Semoga.